
Nick Kuipers dan K.A.R. Bosscha: Dua Jejak Abadi Belanda di Tanah Pasundan
Vivagoal – Liga Indonesia – Di bawah langit Jawa Barat yang sering diselimuti kabut pagi, dua pria kelahiran Belanda menjejak sejarah pada lintasan waktu yang terpisah hampir satu abad. Satu di puncak Pangalengan dan Lembang, yang lain di jantung Kota Bandung.
Mereka bukan hanya datang sebagai tamu, tetapi mengakar, mencintai, dan memberi warisan. Bukan bentuk warisan darah, tapi dalam bentuk nilai dan pengabdian: Karel Albert Rudolf Bosscha dan Nick Kuipers.
Dua nama yang sepintas tak berkaitan. Bosscha, seorang filantropis, perintis observatorium dan pelopor pendidikan. Sedangkan Kuipers, bek tengah tangguh klub kebanggaan masyarakat Sunda, Persib Bandung.
Tapi dibalik latar belakang yang berbeda, Bosscha dan Kuipers memiliki benang merah yang kuat. Perjalanan lintas benua untuk mencintai dan membela tanah Sunda dengan cara masing-masing.
Dari Belanda ke Bumi Priangan
Bosscha maupun Kuipers sama-sama berasal dari Belanda, negara dengan langit kelabu dan musim gugur yang panjang. Dilansir detik.com, Bosscha tiba di area Pangalengan, Jawa Barat pada tahun 1896 silam.
Matang, cerdas, dan membawa semangat pencerahan dari Eropa ke tanah jajahan. Bosscha datang ke Jawa Barat bukan sebagai penjajah, tetapi sebagai pembelajar dan pelindung.
Begitu pula Nick Kuipers, yang tiba di Bandung pada tahun 2019 lalu. Tak ada kesan pemain asing yang datang sekadar mengisi slot impor. Tapi, Kuipers datang dengan mental pejuang dan hati yang terbuka.
“Di 2019, saya membuat keputusan terbaik dalam hidup saya untuk menandatangani kontrak di negara sepak bola yang indah ini, Indonesia, di Persib Bandung,” cuitan Kuipers lewat X.
Ungkapan itu mungkin mengingatkan pada surat-surat Bosscha yang penuh cinta kepada Malabar dan masyarakatnya. Keduanya datang dari jauh, lalu memilih untuk menetap, dalam tubuh, cinta, serta kontribusi di Bumi Priangan.
Pembela Langit dan Bumi
Bosscha tidak hanya membangun Observatorium di Lembang, tetapi juga memperjuangkan pendidikan anak-anak pribumi di Malabar pada masa lampau. Dia membuka sekolah gratis, memperjuangkan keadilan sosial dalam cara yang nyaris tanpa pamrih. Ia melihat langit dan bumi, mengamati kesenjangan, serta mencoba memperbaikinya.
Kuipers, di sisi lain, tidak hanya menjaga lini belakang Persib. Ia juga sering menjadi pembela di luar lapangan. Ketika tim dihujat, ia bicara. Saat suporter gelisah, ia menjadi simbol ketenangan.
Dalam situasi yang sulit, cedera, kekalahan, tekanan publik, Kuipers tetap berdiri tegak. Mengingatkan pada ketabahan Bosscha menghadapi penyakit dan kemunduran kolonialisme di akhir hidupnya.

Statistik mendukung peran besar Kuipers. Lebih dari 150 penampilan, menjadikan dirinya salah satu pemain asing dengan caps terbanyak dalam sejarah Persib. Belum lagi dua gelar juara Liga Indonesia, yang Ia raih secara back-to-back bersama Pangeran Biru.
Tak banyak pemain asing maupun lokal yang bisa menyamai Kuipers. Namun yang paling dikenang bukan hanya statistiknya, melainkan semangat bertarungnya dan caranya menghormati simbol-simbol lokal. Diantaranya, ketika Kuipers tak segan mencium lambang Maung Bandung usai pertandingan penting.
Warisan dan Waktu yang Melintasi Generasi

Bosscha wafat pada 1928, dimakamkan di Malabar dengan nisan sederhana, tapi warisannya terus hidup. Observatorium Bosscha tetap menjadi pusat ilmu astronomi, dan ITB, kampus yang berdiri atas salah satu gagasan awalnya, melahirkan ribuan ilmuwan dan pemimpin bangsa.
Kuipers mungkin masih jauh dari akhir karirnya, namun jejaknya sudah mulai ditulis. Di mata bobotoh, Ia bukan sekadar pemain asing. Kuipers, dalam istilah orang Sunda, cukup sah jika disebut “barudak keneh”, mengingat pengabdiannya bersama Maung Bandung.

Pemain berusia 32 tahun itu kini menjadi standar tinggi, terutama bagi para calon bek asing Persib Bandung di masa depan. Kuipers tak hanya hadir di statistik, tapi juga dalam semangat tim. Bukan tentang teknis di atas lapangan, namun loyalitas pada Pangeran Biru.
Walau belum pasti, tapi mungkin ada peluang Kuipers pensiun di Indonesia, atau menghabiskan masa tuanya di Bumi Priangan. Seperti Bosscha yang menolak pulang ke Belanda, Kuipers pun tampaknya sedang menjalin ikatan tak kasat mata dengan tanah ini.
Dua Nama, Satu Rasa
Keduanya bukan etnis Sunda secara lahir, tetapi menjadi “Urang Sunda” dalam jiwa. Mereka membawa etos Eropa ke dalam nuansa lokal. Mereka mencintai tanpa banyak bicara, berjuang tanpa banyak sorotan, memberi bukan karena harus, tapi karena ingin.
Bosscha melihat bintang-bintang dan menaruh harap pada masa depan ilmu. Kuipers menjaga gawang dan menaruh harap pada kemenangan serta harga diri klub. Keduanya adalah pelindung: satu di langit, satu di lapangan.

Sejarah mencatat banyak tokoh asing yang datang ke Tanah Air, tapi sedikit yang benar-benar tinggal dalam hati rakyat, khususnya Bumi Padjadjaran. K.A.R. Bosscha dan Nick Kuipers adalah dua di antaranya.
Jika Bosscha adalah bintang penunjuk arah bagi generasi pelajar, maka Kuipers adalah perisai yang menjaga harapan di tengah tekanan zaman sepak bola modern. Di bawah langit yang sama, keduanya telah menjadi bagian dari cerita panjang Jawa Barat, tentang pengabdian, ketulusan, dan cinta yang melampaui bangsa.
Ini bukan sekadar cerita tentang pesepakbola dan tokoh sejarah. Ini adalah kisah dua manusia dari Negeri Tulip yang memilih untuk setia pada Jawa Barat. Mereka adalah cermin bahwa meski berbeda ranah, bisa menjadi cara mengabdi kepada tempat yang kita cintai.
Bosscha, Kuipers, dan Tanah Pasundan, Salawasna!
Selalu update berita terbaru seputar Liga Indonesia hanya di Vivagoal.com
