5 Fakta Kesuksesan dan Kesedihan Mutiara Hitam AC Milan

5 Fakta Kesuksesan dan Kesedihan Mutiara Hitam AC Milan

Fachrizal Wicaksono - March 28, 2019
Dibaca Normal dengan Waktu Menit

3. Memenangkan Trofi Liga Champions di 3 Klub yang Berbeda

Pemain yang mengidolakan Rijkaard ini dengan berani menerima pinangan Sampdoria, setelah menjalani musim gemilang bersama “The Dream Team” Ajax. Mengenai Rijkaard, ia mengaku bahwa saat masih bocah, ia memiliki target untuk melebihi pencapaian sang idola yang telah merengkuh dua gelar Piala Champions.

[irp]

“Saat itu (waktu berumur 14 tahun), saya sudah bermimpi untuk memenangi Liga Champions sampai tiga kali. Idola saya, Frank Rijkaard, waktu itu telah memenanginya sebanyak dua kali, maka saya ingin melebihi pencapaiannya,” katanya kepada Guardian (14/2/2010). Rijkaard juga telah memenangi tiga trofi si Kuping Besar, tetapi Seedorf memenanginya bersama tiga klub berbeda: Ajax (1995), Real Madrid (1998), dan Milan (2003 dan 2007).

Kepribadian adalah salah satu karakteristik terkuat Seedorf. Bruno de Michelis, psikolog yang menanganinya saat di Milan menjelaskan hal ini. “Seedorf berbicara seperti pemain 10%, seperti pelatih 70%, dan layaknya manajer perusahaan 20%.” De Michelis juga menguatkan pendapatnya dengan sebuah ilustrasi. Seorang pemain sepak bola akan menuruti titah sang pelatih, bahkan jika pelatihnya menyuruh untuk membuang tahi di lapangan. Tetapi seorang Seedorf akan menuntut sang pelatih untuk lebih memperjelas instruksi, “Anda maunya tahi kami berwarna apa?”

Karakteristik blak-blakan ini mungkin menjadi atribut yang membuatnya mampu menjalani karier secara gemilang, meski berada di klub besar dan ditangani pelatih-pelatih kawakan seperti Fabio Capello, Carlo Ancelotti atau Sven Goran Eriksson. Bandingkan dengan pemain berdarah Suriname seangkatannya, Patrick Kluivert, yang gagal meneruskan sinar harapan di lanjutan kariernya.

Seedorf tidak seperti Gullit, yang menjadi representasi sepak bola seksi, lewat skill aduhai. Ia juga bukan Dennis Bergkamp, yang meski gagal di Inter Milan, lantas menjadi simbol kebangkitan Arsenal dan sepak bola cantiknya. Seedorf bukanlah pemain yang sering mendapat elu-elu dan taburan konfeti.

Setelah mengabdi untuk Milan, pemain yang dulu identik dengan rambut gimbalnya ini memilih untuk berlabuh ke klub Brasil, Botafogo. Belum pernah menapaki karier sebagai pelatih ataupun asisten, Seedorf memilih menerima undangan Silvio Berlusconi untuk menggantikan Max Allegri.

Ditambah prestasi buruk Milan, Berlusconi tak cukup memiliki kesabaran dan lantas memecat Seedorf saat ia belum setengah tahun menangani mereka. Mungkin ini pula yang membuat nama Seedorf seperti tenggelam. Ia justru lebih identik dengan masa-masa suram, selain juga posisi bermainnya yang bukan favorit para penggemar.

Hari ini, sang pemain berulang tahun ke-41. Meski bukan tipe pemain yang bisa dijadikan poster atau pin-up penghias kamar para penggemar, peran Seedorf begitu besar bagi Milan.