Site icon Vivagoal.com

5 Fakta Kesuksesan dan Kesedihan Mutiara Hitam AC Milan

5 Fakta Kesuksesan dan Kesedihan Mutiara Hitam AC Milan

Vivagoal 5 Fakta – Clarence Seedorf dilahirkan di Paramaribo, Suriname. Pesepakbola yang memiliki nama lengkap Clarence Clyde Seedorf ini adalah mantan gelandang timnas Belanda yang pernah sukses membina karir bersama AC Milan.

Tahun 1990 hingga 2000-an, namanya tentu tak asing di telinga para penggemar sepak bola. Seedorf dianggap sebagai salah satu gelandang terbaik pada masa-masa tersebut.

[irp]

Clarence adalah pemain yang punya catatan mengagumkan dalam sejarah gelaran Liga Champions. Pasalnya, ia adalah pesepakbola pertama yang telah merebut trofi Liga Champions bersama tiga klub berbeda.

Pada tahun 1995, Clarence Seedorf meraih gelar Liga Champions perdananya bersama Ajax. Dan tiga tahun kemudian, Seedorf mencicipi gelar serupa bersama Real Madrid. Berseragam Milan, Clarence Seedorf malam merasakannya sebanyak dua kali, yaitu pada tahun 2003 dan 2007.

VIGO merangkum, 5 Fakta Kesuksesan dan Kesedihan Mutiara Hitam AC Milan.

1. Pesepakbola Profesional dan Mahir 6 Bahasa

Seedorf lahir di keluarga pecinta bola. Selain ayah yang mantan pemain bola sekaligus agen pencari bakat, Seedorf juga punya dua adik yang sama-sama menekuni dunia sepak bola.

Gelandang yang fasih enam bahasa ini (Belanda, Inggris, Italia, Portugis, Spanyol, dan Suriname), mengawali karier senior bersama Ajax pada tahun 1992. Tiga tahun di klub asal Amsterdam, Seedorf merasakan dua gelar juara Eredivisie dan satu Liga Champions.

Sempat hanya setahun di Sampdoria, Seedorf hijrah ke Spanyol untuk bermain bersama Real Madrid. Berseragam Los Blancos, Seedorf mencicipi satu gelar La Liga dan satu trofi Liga Champions sebelum akhirnya pindah ke Inter Milan.

[irp]

Hanya dua tahun di Inter, Seedorf pindah ke musuh bebuyutan Nerrazurri, AC Milan. Sepuluh tahun jadi punggawa Il Diavolo Rosso, Seedorf mempersembahkan dua gelar Serie A dan dua trofi Liga Champions.

Selepas dari Milan, Seedorf terbang ke Brasil dan bergabung dengan Botafogo. Dua tahun merumput bersama klub asal Rio de Janeiro, Seedorf memutuskan gantung sepatu pada tahun 2014.

Selepas pensiun, Seedorf sempat menjadi manajer Milan. Posisinya digantikan Filippo Inzaghi setelah hanya empat bulan menukangi Rossoneri.

Pemain yang menikahi seorang perempuan Brasil ini punya ikatan kuat dengan negara tempat ia dilahirkan, Suriname. Di pulau yang dahulu didatangi kuli-kuli kontrak Belanda asal Pulau Jawa itu Seedorf banyak terlibat proyek pembangunan. Salah satunya adalah sebuah stadion yang dinamakan Clarence Seedorf Stadium, tempat digelarnya Liga Para Juniors Suriname.

2. Pemain Pro yang Jarang Disebut

Saat terakhir kali mengalami masa kejayaannya, Anda bisa bertanya kepada para penggemar AC Milan, siapa pemain yang paling memikat hati mereka. Mayoritas mungkin akan menyebut nama Andrea Pirlo, sang terbuang saat di Internazionale, yang justru menjelma menjadi sang metronom permainan Rossoneri. Atau siapa pula yang tak terkenang akan kepemimpinan Ricardo Kaka, gelandang serang elegan, yang menjadi pemenang Ballon d’Or 2007, sebelum akhirnya persembahan itu melulu didominasi Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo?

Di sektor juru gedor, Andriy Shevchenko dan Filippo Inzaghi menjadi penghias hari-hari Milanisti yang mengharap kembalinya kejayaan klub pujaan. Di aspek yang paling identik dengan tim Serie A pun, aspek pertahanan, orang akan terkenang dengan Paolo Maldini, Alessandro Nesta, serta gelandang beringas, Gennaro Gattuso.

Ada satu nama penting, yang jarang didendangkan, padahal ia menempati posisi kunci dalam trio gelandang poros permainan AC Milan. Dialah Clarence Seedorf, pemain Belanda berdarah Suriname yang juga pernah menjadi pelatih klub hitam-merah tersebut.

Seedorf mencatatkan namanya di blantika sepak bola bersama generasi emas Ajax Amsterdam yang menjuarai Liga Champions pada 1994/1995. Umurnya baru 19 waktu itu. Ditangani oleh Louis van Gaal, Seedorf menjadi poros dari tim yang terdiri dari perpaduan bakat muda dengan pemain berpengalaman seperti Frank Rijkaard.

[irp]

Sebelum malam yang menjadi kejayaan terakhir klub Belanda di Eropa tersebut, bakat Seedorf telah diendus Real Madrid empat tahun sebelumnya. Umurnya baru 15 saat itu. Menurut pengakuannya kepada FourFourTwo, keputusan tersebut ia yang ambil sendiri, tanpa ikut campur orangtuanya. Sikap yang sama dapat kita petik ketika ia terus setia membela Milan, yang ia bela selama satu dasawarsa.

Sayang, Seedorf tidak berposisi sebagai pendulang gol. Ia juga bukan bek tangguh yang siap meladeni penyerang-penyerang lawan dengan tekel-tekel keras. Seedorf terus berada di Milan, sampai klub tersebut mengalami masa-masa kelam seperti saat ini. Keputusan yang membuat namanya identik dengan penampilan loyo dan terpaan cedera.

Ia bukan Maldini, bukan Pirlo, bukan pula Gattuso. Ialah Seedorf, putra pasangan imigran Suriname yang menjadi penerus jejak Frank Rijkaard dan Ruud Gullit: darah Suriname yang menjadi pewarna sepak bola Belanda. Mengenai dua nama terakhir, tentu kita akan lagi-lagi menafikan Seedorf: kiprahnya bersama tim kincir angin tak begitu menjulang.

3. Memenangkan Trofi Liga Champions di 3 Klub yang Berbeda

Pemain yang mengidolakan Rijkaard ini dengan berani menerima pinangan Sampdoria, setelah menjalani musim gemilang bersama “The Dream Team” Ajax. Mengenai Rijkaard, ia mengaku bahwa saat masih bocah, ia memiliki target untuk melebihi pencapaian sang idola yang telah merengkuh dua gelar Piala Champions.

[irp]

“Saat itu (waktu berumur 14 tahun), saya sudah bermimpi untuk memenangi Liga Champions sampai tiga kali. Idola saya, Frank Rijkaard, waktu itu telah memenanginya sebanyak dua kali, maka saya ingin melebihi pencapaiannya,” katanya kepada Guardian (14/2/2010). Rijkaard juga telah memenangi tiga trofi si Kuping Besar, tetapi Seedorf memenanginya bersama tiga klub berbeda: Ajax (1995), Real Madrid (1998), dan Milan (2003 dan 2007).

Kepribadian adalah salah satu karakteristik terkuat Seedorf. Bruno de Michelis, psikolog yang menanganinya saat di Milan menjelaskan hal ini. “Seedorf berbicara seperti pemain 10%, seperti pelatih 70%, dan layaknya manajer perusahaan 20%.” De Michelis juga menguatkan pendapatnya dengan sebuah ilustrasi. Seorang pemain sepak bola akan menuruti titah sang pelatih, bahkan jika pelatihnya menyuruh untuk membuang tahi di lapangan. Tetapi seorang Seedorf akan menuntut sang pelatih untuk lebih memperjelas instruksi, “Anda maunya tahi kami berwarna apa?”

Karakteristik blak-blakan ini mungkin menjadi atribut yang membuatnya mampu menjalani karier secara gemilang, meski berada di klub besar dan ditangani pelatih-pelatih kawakan seperti Fabio Capello, Carlo Ancelotti atau Sven Goran Eriksson. Bandingkan dengan pemain berdarah Suriname seangkatannya, Patrick Kluivert, yang gagal meneruskan sinar harapan di lanjutan kariernya.

Seedorf tidak seperti Gullit, yang menjadi representasi sepak bola seksi, lewat skill aduhai. Ia juga bukan Dennis Bergkamp, yang meski gagal di Inter Milan, lantas menjadi simbol kebangkitan Arsenal dan sepak bola cantiknya. Seedorf bukanlah pemain yang sering mendapat elu-elu dan taburan konfeti.

Setelah mengabdi untuk Milan, pemain yang dulu identik dengan rambut gimbalnya ini memilih untuk berlabuh ke klub Brasil, Botafogo. Belum pernah menapaki karier sebagai pelatih ataupun asisten, Seedorf memilih menerima undangan Silvio Berlusconi untuk menggantikan Max Allegri.

Ditambah prestasi buruk Milan, Berlusconi tak cukup memiliki kesabaran dan lantas memecat Seedorf saat ia belum setengah tahun menangani mereka. Mungkin ini pula yang membuat nama Seedorf seperti tenggelam. Ia justru lebih identik dengan masa-masa suram, selain juga posisi bermainnya yang bukan favorit para penggemar.

Hari ini, sang pemain berulang tahun ke-41. Meski bukan tipe pemain yang bisa dijadikan poster atau pin-up penghias kamar para penggemar, peran Seedorf begitu besar bagi Milan.

4. Sempat Kacau Melatih AC Milan

Eks AC pelatih AC Milan, Clarence Seedorf, berbicara soal perbedaan yang terjadi di dalam klub saat dirinya menjadi nakhoda Rossoneri dengan saat ini yang dirasakan Gennaro Gattuso. Seedorf mengungkapkan hal ini setelah Gennaro Gattuso dipandang berhasil menjadi pelatih AC Milan.

[irp]

Gattuso diangkat AC Milan sebagai pelatih tim utama dari tim Primavera untuk menggantikan Vincenzo Montella yang dianggap gagal pada awal 2017-2018. Sejak diangkat pada akhir November 2017, Gattuso mengawalinya dengan rangkaian hasil buruk.

Namun, seiring berjalannya waktu, Gennaro Gattuso mampu mengubah permainan AC Milan hingga mampu tampil tak terkalahkan dalam 13 pertandingan di semua ajang.

Penampilan bagus AC Milan itu pun membuat Gattuso yang semula hanya memiliki kontrak bersama tim utama hingga akhir 2017-2018, kini dipercaya menangani Rossoneri untuk tiga tahun kedepan atau hingga Juni 2021.

Kondisi ini membuat Seedorf mengaku iri dengan apa yang didapat Gennaro Gattuso sambil membandingkan dengan kondisi AC Milan saat dirinya didapuk sebagai pengganti Massimiliano Allegri dan menjadi pelatih pada Januari hingga Juni 2014.

“Saya pikir perbedaan besar antara saya dan Gattuso adalah ketika saya memimpin AC Milan, klub dalam keadaan sangat kacau,” ucap Seedorf seperti dikutip BolaSport.com dari Fox Sports.

5. Menjadi Kambing Hitam Kegagalan Belanda di Euro 1996

Nama Clarence Seedorf dikenal sebagai salah satu gelandang terbaik dunia di eranya. Legenda sekaligus mantan pelatih AC Milan ini sudah mengecap banyak kesuksesan di level klub saat ia membela Ajax Amsterdam, Real Madrid dan AC Milan. Namun di level timnas Belanda, Seedorf tidak mampu mempersembahkan satupun gelar bagi De Oranje.

[irp]

Bahkan di akhir karirnya di Timnas Belanda, ia sempat berseteru dengan pelatih Timnas Belanda saat itu, Marco van Basten. Namun jauh sebelum konflik dengan Van Basten, Seedorf pernah mendapat cap buruk oleh warga Belanda, tepatnya pada saat Euro 1996.

Semua bermula saat Seedorf mendapatkan panggilan pertamanya di Timnas Belanda pada tahun 1994. Manajer Timnas Belanda saat itu, Guus Hiddink melihat potensi besar yang dimiliki gelandang muda Ajax Amsterdam tersebut, yang semenjak berusia 16 tahun  sudah tampil cukup reguler bersama Ajax Amsterdam.

Pemanggilan Seedorf ini sempat menjadi pembicaraan karena sang pemain memiliki dua kewarganegaraan, yaitu Suriname (bekas Kolonial Belanda) dan Belanda. Namun Seedorf muda mantap meninggalkan kewarganegaraan Suriname untuk bergabung dengan De Oranje.

Sejatinya di awal karirnya bersama Timnas Belanda cukup apik. Ia terlibat dalam beberapa partai kualifikasi Euro 96 di mana ia total membuat 4 gol selama babak kualifikasi dan membawa TImnas Belanda melaju ke putaran final Euro 1996 yang digelar di Inggris. Penampilan Seedorf di putaran final Euro 1996. Ia tampil di tiga pertandingan babak grup kontra Inggris, Swiss, dan Skotlandia dan membawa Belanda lolos ke babak perempat final.

Namun sayang semua penampilan apik Seedorf di babak grup terhapuskan dengan kesalahan fatalnya di babak perempat final. Pada partai perempat final, Belanda harus berhadapan dengan salah satu tim unggulan Prancis. Sampai 90 menit waktu normal berjalan, tidak ada pemenang di antara kedua tim setelah pertandingan berakhir dengan skor 0-0. Setelah melalui babak tambahan waktu, wasit memutuskan untuk melanjutkan pertandingan ke babak adu penalti.

Di babak adu penalti, baik Prancis maupun Belanda masih sama kuat hingga penendang ketiga. Namun memasuki penendang ke empat arah angin akhirnya berubah ke kubu Prancis. Pada saat itu Seedorf ditunjuk sebagai penendang ke empat Belanda.

Saat mengeksekusi penalti tersebut, Seedorf mengarahkan bola ke arah kiri gawang Prancis yang dijaga Bernard Lama. Namun karena tendangannya terlalu pelan, Lama berhasil mematahkan penalti tersebut, sehingga Belanda harus pulang terlebih dahulu di babak perempat final.

Akibat kegagalannya dalam mengeksekusi tendangan penalti yang dicap tendangan penalti ‘setengah hati’ tersebut membuat Seedorf banyak mendapat kecaman pasca Euro 1996 digelar.

Exit mobile version