Site icon Vivagoal.com

Obrolan Vigo Roberto Baggio: Pemain Hebat yang Tak Dimaksimalkan Pelatih Manapun

Obrolan Vigo Roberto Baggio: Pemain Hebat yang Tak Dimaksimalkan Pelatih Manapun

Vivagoal Serie A – Roberto Baggio adalah sebuah anomali bagi sepakbola Italia. Reputasinya sebagai pemain besar tak perlu diragukan lagi. Namun anehnya, Baggio hanya bisa memasimalkan potensinya bersama tim yang secara kelas berada di ambang semenjana.

Pasca penampilan impesif di Vicenza, nama Roberto Baggio melambung tinggi. Bersama I Biancorossi, ia sukses mencetak 13 gol dalam 36 penampilan bersama Vicenza di berbagai kompetisi dalam lima musim.

Di tahun 1985, La Viola pun tertarik untuk merekrut Baggio muda meski saat itu sang pemain tengah menderita Anterior Cruciate  Ligament (ACL).Dokter sempat menyatakan sang pemain tak bisa bermain. Namun nyatanya Fiorentina tak bergeming dan tetap memaksakan transfer sang pemain dengan bandrol tak kurang dari 1,5 Juta Euro.

Baca Juga: 5 Fakta Mencengangkan Tentang Adriano Ribeiro

Bersama La Viola, karir Baggio langsung moncer. Ia membantu tim asal Firenze finish di peringkat kelima dan melaju ke semi-final Coppa Italia. Hanya dalam kurun waktu tiga musim, ia sukses mendulang Coppa Italia bersama Fiorentina di musim 1988/89.

Bahkan dalam kesempatan tersebut, ia sukses mendapatkan gelar sebagai Capocannoiere dengan torehan 15 gol. Semusim berselang, ia mampu mengantarkan Fiorentina ke babak final Piala UEFA. Namun di laga pamungkas, Miguel Montuori dan kolega harus keok dari Juventus. Musim tersebut pun seakan menjadi akhir karirnya dengan mencetak 55 gol dari 136 laga yang ia mainkan bersama si Ungu.

Breakthrough

Penampilan impresifnya bersama Fiorentina pun membuat Baggio diminati tim Elit. Juventus, yang saat itu tengah tampil moncer berniat menambah kekuatan dengan memasukan nama Baggio dalam skuatnya. Dana sebesar 8 Juta Euro pun dilepas sebagai pelicin transfer sang pemain dari Firenze ke Turin.

Meski di masa itu La Viola dan I Bianconerri merupakan musuh bebuyutan, nama Baggio tetap hengkang ke Juventus dengan harga transfer yang masuk ke dalam buku rekor. Bersama Nyonya Tua, ia sukses menjadi bagian penting dalam perjalanan klub mendulang berbagai raihan presitis. Di musim pertamanya, Divine Ponytail sukses menjadi top skor Serie A. Semusim berselang, ia menjadi bagian penting kala Juve menjuarai Piala UEFA. Kegemilangannya bahkan membuat Baggio didapuk sebagai kapten tim.

Dipilihnya ia sebagai kapten tim juga membuat kansnya bermain semakin besar. Dulangan Piala tambahan baik di rekor klub maupun individu pun sukses direngkuh. Kebersamaan sang pemain bersama Juventus pun tak bertahan lama. Kedatangan Marcelo Lippi dan kemunculan Alex Del Piero membuat nama Baggio pun lambat laun tersingkir. Untungnya, Ac Milan sukses mengamankan jasanya

Meski berkiprah di salah satu tim besar, nama Baggio justru kurang bersinar. Pelatih-pelatih Milan macam Arrigo Sacchi hingga Fabio Capello sekaan tak tahu cara memaksimalkan si Kuncir kuda. Selama membela Milan, Baggio seakan tak memberikan kontrbusi maksimal bagi tim. Dalam beberapa kesempatan, bahkan ia kerap bermain tak dalam posisi idelanya. Hal tersebut membuat Baggio gerah dan memutuskan hengkang pasca dua musim berseragam Merah Hitam. Dalam kesempatan tersebut, ia hanya mampu mendulang 19 gol dalam 67 penampilan di berbagai kompetisi.

Gabung Bologna dan (Kembali) Mengulang Kesalahan

Pasca hengkang dari AC Milan, sejatinya nama Baggio sempat dikaitkan dengan Parma. Sang pemian pun menyatakan ketertarikannya atas tim yang kala itu dianggap cukup potensi Namun pelatih I Ducali saat itu, Carlo Ancelotti tak menginginkan kehadirannya di Ennio Tardini. Bologna, yang saat itu berada di zona merah justru menyatakan tertarik membawa Baggio ke Renato Dal Arra. Kesepakatan terjadi, Rossoblu menjadi tim keempat yang dibela si Kaki Emas

Musim 1997/98, Bologna sukses menjadikan Baggio sebagai sosok sentral dalam tim. Ia sukses mendulang gelar top skor dengan 22 gol yang ia torehkan. Tak hanya itu ia juga mampu menciptakan 9 assist dalam periode tersebut. Gelar sebagai pemain terbaik Serie A pun tak terelakan lewat penampilan impresifnya bersama si Merah Biru.

Namun meski dipuja fans, hubungannya dengan pelatih Bologna, Renzo Ulivieri membutuk. Meski demikian keputusannya membela Bologna patut diacungi jempol karena Baggio sukses mengamankan satu tempat di Timnas Italia untuk berlaga di Piala Dunia 1998 yang dihelat Prancis.

Setelah Piala Dunia, Baggio yang masih pensaran membela tim besar menerima pinangan Inter Milan.  Namun lagi-lagi berbagai pelatih La Beneamata macam Luigi Simoni, Mircea Lucescu hingga Roy Hodgson tak paham cara memaksimalkan peran si Kuncir Kuda. Alhasil musim pertamanya bersama Inter berjalan buruk. Ia hanya mampu mendulang lima gol dan 10 assist dalam 23 penampilan. Bahkan La Beneamata harus finish di posisi kedelapan.

Semusim berselang, pergantian pelatih pun terjadi, nama Marcelo Lippi didaulat sebagai juru taktik. Baggio yang memiliki rekam jejak hubungan dengan Lippi pun mau tak mau harus menerima pria berambut perak sebagai atasannya. Di awal kepelatihan, Baggio menyebut jika ia pernah diminta menjadi mata-mata Lippi untuk memantau pemain mana yang tak suka kepada Lippi. Baggio, yang merasa punya integritas jelas menolak tugas receh tersebut.

Memburuknya hubungan kedua sosok penting di Inter ini serta cederanya Baggio membuat karir si Kuncir Kuda harus berakhir lebih cepat. Di medio 2000an, kontraknya bersama Inter rampung. Ia pun angkat kaki dan memutuskan gabung ke Brescia demi satu misi yang mulia, Piala Dunia 2022.

Menjadi Legenda di Brescia

Piala Dunia 2002 menjadi target utama Baggio. Sebelumnya, ia sudah bermain di tiga edsi Piala Dunia yakni 1990,1994 dan 1998. Pindah ke tim yang menggaransinya menit bermain adalah hal yang wajib dilakukan. Di tahun 2000, bertepatan dengan promosinya Brescia, Baggio resmi pindah ke tim asal Lombardy.

“Saya ingin terus bermain. Saya ingin melanjutkan hingga 2002 dan main di Piala Dunia di Jepang dan Korea Selatan. Itulah tujuan saya. Jika seorang pemain bermain sedikit, maka dia tidak dapat meyakinkan pelatih timnas dan tahun lalu (bersama Inter) saya tidak banyak bermain,” kata Baggio, dilansir The Telegraph. “Itulah sebabnya saya sekarang ingin pergi ke tim di mana saya dapat menunjukkan kualitas saya,” lanjutnya.

Di bawah asuhan juru taktik kawakan Carlo Mazzone, Baggio bertransformasi menjadi sosok sentral dalam tim. Ia langsung mendapat peran sebagai kapten tim dan diberikan nomor 10. Meski di musim perdananya ia berkutat dengan cedera, Baggio masih sanggup membukukan 10 gol dan 10 assist untuk Brescia.

Sosok yang menganut agama Budha ini sejatinya hampir memberikan piala Interkontinental kala mentas di partai puncak Piala Intertoto. Namun di laga tersebut, Brescia harus keok dari PSG yang menjadi juara. Namanya pun menjadi juru selamat tim tatkala kerap memberikan gol krusial yang membuat Brescia terhidar dari zona degradasi. Pujian pun lantas disematkan Mazonne kepada sang pemain.

“Roberto Baggio adalah fantasista terbaik Italia, dia lebih baik daripada (Giuseppe) Meazza dan (Giampiero) Boniperti, dan dia termasuk yang terhebat sepanjang masa, tepat di belakang (Diego) Maradona, Pele, dan mungkin (Johan) Cruyff,” kata Mazzone, dilansir Calciopro.com.

Hingga usianya kian menua, Baggio belum mampu memberikan satu pun Piala bagi Brescia hingga ia memutuskan gantung sepatu di tahun 2004. Sebagai sebuah apresiasi, tim asal Lombardy pun melakukan langkah yang sama dengan Napoli dalam mengenang legendanya yakni dengan memensiunkan nomor 10.

Pasca Ketiadaan Carlo Mazzone dan Roberto Baggio, Brescia hari ini tak lagi sama. Mereka lebih banyak berkutat di papan bawah dan baru berhasil promosi di awal musim ini.

Minim Prestasi Timnas

Di level Tim Nasional, Baggio memainkan laga Piala Dunia pertamanya di Edisi 1990. Italia yang kala itu bertindak sebagai tuan rumah tak mampu berbuat banyak. Performanya tertutup permainan canti Salvatore Schilliaci. Di gelaran tersebut, Italia harus puas menjadi juara tiga. Dalam perebutan medali perunggu, Baggio mencetak satu gol pembuka dalam laga kontra Inggris.

Empat tahun berselang dalam gelaran akbar yang dihelat di Amerika Serikat, Baggio tampil impresif. Ia seakan menjadi sosok penting dalam tim yang diasuh oleh Ariggo Sacchi. Ia mampu mengoleksi lima gol sepanjang turnamen dan membawa Italia ke partai puncak. Namun sayangnya, dalam drama adu penalti, eksekusinya melenceng jauh sehingga ia sekaan menjadi pihak yang disalahkan atas kegagalan Italia.

Piala Dunia 1998 menjadi laga pamungkas Baggio bersama Azzurri. Menjamurnya trequarista baru macam Del Piero dan Enrico Chiesa membautperan Baggio lambat laun mulai sedikit tersisihkan. Dalam ajang tersebut, ia hanya mampu mengantarkan Italia ke babak pedelapan final.

Namun di Piala Dunia 2002, Giovani Trappatoni yang saat itu menjadi juru taktik Timnas enggan memanggil Baggio karena sudah memiliki dua nama besar dalam diri Francesco Totti dan Alex Del Piero sebagai kreator dari lini tengah.

Terlepas dari apapun, Baggio adalah pemain besar yang pernah dimiliki Italia namun pelatih top tak mampu memaksimalkan kemampuannya, Tanti Auguti Divine Ponytail

Selalu update berita bola terbaru seputar Serie A hanya di Vivagoal.com

 

Exit mobile version