Site icon Vivagoal.com

Analisa Vigo: Mengenal RB Leipzig, Klub Pintar Paling Dibenci di Jerman

Analisa Vigo: Mengenal RB Leipzig, Klub Pintar Paling Dibenci di Jerman

Sumber: Twitter @RBLeipzig_EN

VivagoalBerita BolaRB Leipzig menjadi salah satu kekuatan sepakbola di Jerman, di mana mereka selalu berada di empat besar dalam lima musim terakhir. Namun, sejak dahulu hingga saat ini, die Roten Bullen menjadi tim yang paling dibenci oleh masyarakat Jerman, khususnya pecinta sepakbola.

Jerman memiliki kultur sepakbola yang berbeda dari liga di negara Eropa lainnya. Mereka mempunyai regulasi 50+1, sebuah regulasi yang menetapkan persentase dari kepemilikan sebuah klub.

Di Jerman, anggota yang merupakan suporter memiliki persentase kepemilikan sebesar 50+1 persen. Sedangkan, investor hanya boleh memiliki 49 persen saja, sehingga klub masih dimiliki oleh para suporter.

Tentu ini membahagiakan bagi para suporter karena mereka bisa menjaga tradisi, orisinalitas, dan nilai-nilai dari sebuah klub itu. Namun, itu menjadi salah satu hambatan perkembangan sepakbola Jerman, yang akhirnya didominasi oleh Bayern Munich ataupun Borussia Dortmund.

Namun, regulasi ini mendapatkan kemudahan untuk para investor yang sudah lebih dari 20 tahun ada di klub tersebut. Beberapa contoh seperti VfL Wolfsburg, TSG Hoffenheim, dan Bayer Leverkusen.

Wolfsburg dimiliki oleh salah satu perusahaan otomotif ternama di Jerman, yakni Volkswagen. Lalu, Leverkusen dimiliki oleh perusahaan obat terbesar yaitu Bayer, dan Hoffenheim dipunyai Dietmar Hopp, seorang pengusaha yang mendirikan perusahaan software SAP.

Lunaknya regulasi 50+1 oleh Deutsche Fussball Liga (DFL) membuat perusahaan minuman berenergi asal Austria, Red Bull, hadir ke sepakbola Jerman. Berharap diterima layaknya Wolfsburg, Leverkusen, atuapun Hoffenheim, mereka justru mendapat cacian dan dicap sebagai tim paling dibenci di seluruh Jerman.

Red Bull mulai masuk ke sepakbola Jerman pada 2009, di mana mereka membeli klub kasta kelima, SSV Markranstadt. Setelah mengakuisisi SSV Markranstadt, mereka seharusnya mengganti nama menjadi Red Bull Leipzig.

Namun, untuk menyiasati regulasi 50+1 plus menghargai warga Jerman, Red Bull tidak menggunakan merk mereka di nama klub, sehingga mereka menamai klub tersebut dengan RassenBallsport Leipzig, atau yang disingkat RB Leipzig.


Baca Juga:


Mereka tidak hanya membeli sebuah klub, melainkan juga stadionnya. Red Bull membeli Zentralstadion Leipzig, sebuah stadion milik SC Rotation Leipzig, dari pemerintah Jerman dan mengganti namanya dengan Red Bull Arena.

Setelah satu musim ada di NOFV-Oberliga Sud, RB Leipzig naik ke kasta keempat, Regionalliga Nord. Dua musim mereka habiskan di sana sebelum akhirnya naik ke kasta ketiga, 3. Liga. Di bawah tangan Alexander Zorniger, RB Leipzig langsung naik ke kasta kedua, 2. Bundesliga, hanya dalam satu musim saja, tepatnya pada 2013/14.

Di musim awal mereka tampil di 2. Bundesliga, RB Leipzig gagal untuk promosi langsung ke kasta tertinggi sepakbola Jerman, Bundesliga. Untuk itu, di musim 2015/16, RB Leipzig menunjuk Ralf Ragnick sebagai pelatih mereka.

Hanya butuh satu musim bagi Ralf Ragnick membawa RB Leipzig tampil di Bundesliga. Sayangnya, manajemen klub memutuskan untuk melepasnya dan digantikan oleh Ralph Hassenhutl.

Sumber: Twitter @RBLeipzig_EN

Setelah itu, RB Leipzig konsisten di papan atas. Walaupun terjadi beberapa pergantian pelatih seperti kembalinya Ralf Ragnick di musim 2018/19, Julian Nagelsmann di musim 2019/20 dan 2020/21, Domenico Tedesco di musim 2021/22, hingga sekarang di bawah tangan Marco Rose, die Roten Bullen selalu konsisten ada di enam besar.

Meskipun memiliki banyak uang, RB Leipzig tidak seperti Paris Saint-Germain (PSG) ataupun Chelsea FC era Todd Boehly. Mereka tidak langsung menggelontorkan uang untuk membeli pemain-pemain bintang.

Justru, dilansir dari Bitbol, RB Leipzig mengusung sebuah nilai yang di mana mereka hanya ingin merekrut pemain-pemain muda yang di bawah 23 tahun. Berkat kebijakan tersebut, die Roten Bullen bisa melahirkan pemain-pemain bintang seperti Joshua Kimmich, Naby Keita, Dani Olmo, Benjamin Sesko, Timo Werner, Josko Gvardiol, Dayot Upamecano, hingga Christopher Nkunku.

Selain harga yang lebih murah, RB Leipzig juga mendapatkan keuntungan besar dalam penjualan pemain-pemain yang mereka bina.

Sumber: Twitter @RBLeipzig_EN

Contoh, Dominik Szoboszlai yang mereka rekrut dari RB Salzburg pada 2021. Mereka merekrutnya dengan harga 36 juta euro, dan saat ini Szoboszlai resmi berseragam Liverpool FC dengan harga fantastis yaitu 70 juta euro.

Walaupun begitu, RB Leipzig tetaplah klub kebanggan masyarakat Leipzig. Mereka tetap menerapkan nilai-nilai dari sepakbola Jerman dengan tetap mendengarkan pemilik suara terbesar, suporter mereka.

Namun, sayangnya RB Leipzig tetap menjadi musuh bersama suporter sepakbola Jerman. Kehadiran mereka dinilai bisa merusak nilai dari sepakbola Jerman sesungguhnya yang jauh dari kapitalis.

Jurnalis sepakbola Jerman, Raphael Honigstein, mengatakan alasan kekesalan para suporter sepakbola di Jerman terhadap RB Leipzig karena Red Bull hanya menjadikan sepakbola sebagai alat mereka untuk mendulang keuntungan. Itu bisa merusak citra sepakbola Jerman.

“Mereka (suporter sepakbola Jerman) melihat suporter RB Leipzig sebagai alat pemasaran dari Red Bull,” ucap Raphael Honigstein yang dilansir dari Youtube Copa90 Stories.

Akan tetapi, akan sangat sulit untuk memisahkan kapitalis dari sepakbola di era modern saat ini. Pasalnya, agar bisa bertarung di level tertinggi, mereka membutuhkan uang untuk bisa membangun tim yang kuat, dan itu perlu investor.

Meskipun begitu, Red Bull tidak serta merta menerapkan hal itu. Mereka tetap menjaga agar ekosistem tim mereka dibangun dari pemain-pemain muda, dan itu adalah hal yang positif bagi sepakbola.

Sumber: Twitter @RBLeipzig_EN

Apalagi, RB Leipzig berjasa kepada tim-tim besar di Eropa lainnya seperti Manchester City, Liverpool, Bayern Munich, dan Chelsea FC. Berkat mereka, klub-klub di atas tidak akan menemui talenta seperti Erling Haaland, Naby Keita, Dominik Szoboszlai, Dayot Upamecano, Joshua Kimmich, atau Christopher Nkunku.

RB Leipzig boleh dibenci di Jerman akibat kehadiran Red Bull di klubnya. Namun, tidak bisa dipungkiri, die Roten Bullen adalah tim paling pintar di Jerman.

Selalu update berita bola terbaru seputar sepakbola dunia hanya di Vivagoal.com

Exit mobile version