Site icon Vivagoal.com

Obrolan Vigo: Claudio Ranieri yang Tak Perlu Melatih Lagi

Obrolan Vigo: Claudio Ranieri yang Tak Perlu Melatih Lagi

Vivagoal Berita Bola Era keemasan seorang pelatih lambat laun akan tergerus seiring berjalannya waktu. Hal yang sama berlaku bagi Claudio Ranieri. Di usia senjanya, The Tinkerman seharusnya tak perlu repot-repot untuk melatih sebuah kesebelasan lagi.

Claudio Ranieri sudah memulai rekam jejaknya sebagai pelatih sejak 1986 silam. Ia banyak menukangi tim-tim tier bawah Italia. Barulah di tahun 1990an, ia mulai menukangi tim-tim Serie A macam Cagliari, Napoli hingga Fiorentina. Di tim yang disebut terakhir, ia lumayan lama melatih pada rentnag 1993-1997 silam.

Karir manajerialnya memang lumayan menanjak dengan menukangi tim Serie C, Serie B hingga mentas di Serie A. Pasca Italia, petualangan Ranieri pun berjanjut ke Spanyol dengan menerima pinangan Valencia di musim 1997-1999. Dalam periode tersebut, ia mampu persembahkan gelar Copa del Rey dan Piala Intertoto, kini Europa Conference League. Ia juga sempat membesut Atletico Madrid.

Di Spanyol, Ranieri lumayan berperan dalam perkembangan beberapa nama beken di sepakbola negeri Matador setelahnya macam Claudio Lopez, Gaizka Mendieta, Miguel Angel Angulo hingga Ruben Baraja, Santiago Solari, Juan Valeron hingga Jimmy Floyd Hasselbaink bersama dua tim tersebut.


Baca Juga:


Pasca petualangan ke Spanyol, Ranieri terbang ke Inggris guna membesut Chelsea. Di London Barat, ia mulai dikenal sebagai tinkerman lantaran sosoknya yang kerap kali merubah susunan formasi dari satu laga ke laga lainnya.

Di awal karir, ia sempat membawa Chelsea melaju ke final Piala FA. Namun kalah dari Arsenal di final tahun 2002. Setahun berselang the Blues diakuisisi oleh Roman Abramovic dengan proyek besarnya yang hendak membuat Chelsea ada di jajaran papan atas Premier League. Dana besar yang dikucurkan membuat tim asal London Barat mendatangkan serangkaian bintang ke TImnas.

Nama besar macam Juan Veron, Hernan Crespo hingga Claude Makelele hingga Adrian Mutu bergabung. Namun di akhir msim, Chelsea hanya menjadi runner up dan hal tersebut membuat posisinya terdepak dan digantikan Jose Mourinho yang kelak memberikan milestone terbaik bagi klub.

Berkelana dan Berkelana

Pasca Chelsea, serangkaian tim mulai ditukangi Ranieri. Valencia, Parma, Juventus, AS Roma hingga Inter Milan pernah memakai jasanya sebagai pelatih. AS Monaco yang di tahun 2012 bermain di Ligue 2 mengontrak Ranieri sebagai pelatih mereka. The Tinkerman pun sukses membawa tim promosi ke Ligue 1 dengan status sebagia juara.

Semusim berselang, ia mampu membawa Monaco sebagai runner up di belakang PSG. Hal tersebut jelas menjadi sebuah pencapaian tersendiri. Namun kontrak Ranieri bersama Monaco justru tak diperpanjang. Timnas Yunani sempat memberinya pekerjaan pasca Piala Dunia 2014. Ia dituntut membawa tim lolos ke Euro 2016. Pasca kalah dari Faroe pada babak kualifikasi, ia pun resmi dipecat.

Leicester City kemudian mendaratkan Ranieri di tahun 2015. Skeptisme muncul di awal penunjukannya. Wartawan the Guardian, Marcus Christenson menyebut penunjukan Ranieri merupakan hal yang membingungkan lantaran ia lebih sering dipecat bahkan dengan lantang Christenson sempat menuliskan ungkapan satir terkait penunjukannya.

“Jika Leicester memilih orang yang lebih ramah dari Nigel Pearson [manajer sebelumnya], mungkin mereka sudah menunjuk orang yang tepat. Namun untuk membuat tim bertahan, saya rasa itu adalah keputusan yang salah,” ucapnya.

Di awal musim, rumah taruhan Ladbrokes hanya menyematkan kans 5000/1 bagi Leicester untuk menjadi juara. Artinya, siapapun yang memasang Leicester menjadi juara, uangnya akan dikalikan 5000. Orang-orang yang menjagokan the Foxes mendapatkan untung besar lantaran di akhir musim, Leicester di bawah Ranieri sukses keluar sebagai juara.

Bersama the Foxes, ia tak banyak merubah susunan pemain. Mereka mampu tampil stabil dibandingkan dengan tim-tim yang diprediksi lebih mungkin menjadi juara macam Chelsea, Manchester United, Manchester City, Arsenal, dan Liverpool. Di akhir kompetisi, mereka berada di posisi puncak, mengulangi masa kejayaan Ipswich Town di awal-awal medio 60an.


Baca Juga:


Ranieri pada akhirnya membuktikan diri menjadi juara pasca alami serangkaian pemecatan yang dialami lantaran berbagai hasil kurang memuaskan ataupun kontraknya yang tak diperpanjang. Membawa Leicester menjadi juara seakan memberi tahu pada dunia jika keajaiban mungkin saja terjadi dalam kehidupan, termasuk aspek sepakbola.

Lantaran keajaiban hanya terjadi sekali, pasca juara, Leicester pun justru limbung. Ketiadaan N’Golo Kante yang menstabilkan lini tengah membuat mereka tak mampu berbuat banyak meski menghadirkan sejumlah nama dalam skuat. Selain itu, “penyakit” Raineri yang mengobrak-abrik komposisi timnya pun berbuah petaka. Leicester hampir terdegradasi dan Raineri pun dipecat.

Ia kemudian merajut kembali karirnya dengan menjadi pelatih “tembak” dengan menukangi beberapa tim macam Nantes, Roma hingga Sampdoria dan Watford. Di luar Sampdoria, ia kebanyakan hanya meneruskan kerja pelatih sebelumnya. Baru-baru ini, ia dipecat dari Watford lantaran tak bisa mengangkat tim keluar dari zona merah.

Saat ini, Ranieri sudah berusia 70 tahun. Kembali menjadi pelatih sudah barang tentu bukan menjadi pilihan yang tepat lantaran reputasinya memang sudah seharusnya selesai. Menghabiskan waktu bersama keluarga jelas menjadi pilihan bijak dibanding harus menerima kompensasi hasil dari pemecatan yang terjadi lantaran hasil-hasil tim yang ditukanginya tak sesuai dengan harapan.

Selalu update berita bola terbaru seputar sepak bola dunia hanya di Vivagoal.com

Exit mobile version