Vivagoal – Berita Bola – Mencari sosok gelandang penghancur serangan, atau anchor man dalam dunia sepakbola merupakan hal yang susah-susah gampang ditemui di hari ini. Dua nama beken yang kerap mengisi pos tersebut adalah N’Golo Kante dan Casemiro. Namun jauh sebelum era Millenium, sosok Edgar Davids terbilang lumayan mendominasi.
Pemain Belanda kelahiran Suriname. 13 Maret 1973 memang merupakan sosok pemian bedaya jelajah tinggi. Di Eranya, beberapa pemain sepertinya memegang peranan penting. Ada nama Genarro Gatusso (Milan) dan Claude Makelele (Real Madrid) yang menjadi benteng terakhir pemutus serangan sebelum bola meluncur deras ke backfour di belakangnya. Davids pun kurang lebih memiliki peran yang cukup sama dengan dua pemain tesebut.
Sejak memulai debutnya bersama Ajax Amsterdam pada 1991, ia langsung mengamankan satu tempat di tim utama. Namanya bahkan masuk ke dalam golden generation Ajax bersama Clerence Seedorf, Patrick Kluivert dan Edwin Van Der Saar.
Ketiganya sukses memberikan berbagai gelar domestik bagi Ajax dan sepasang gelar Liga Europa dan Liga Champions di tahun 1995. Gelar tersebut bahkan belum bisa dibawa kembali ke Ibu Kota Belanda sampai hari ini. Pasca kesuksesan tersebut, pelatih legendaris Belanda, Louis Van Gaal pun memberinya julukan Pitbull karena ia tak segan berlarian kesana kemari guna mengamankan bola. Selain itu, Davids juga diberkahi stamina yang mumpuni untuk menunjang mobilitasnya di atas lapangan.
Baca Juga Artikel Lainnya:
Obrolan Vigo: Keberlangsungan Liga 1 Terancam Virus Corona?
Obrolan Vigo Diego Ribas: Permata Brazil yang Tak Terasah Sempurna
Obrolan Vigo: James Beattie, Striker Underrated yang Selalu Dicintai
Obrolan Vigo Roberto Baggio: Pemain Hebat yang Tak Dimaksimalkan Pelatih Manapun
Lima musim membela Ajax, Davids mengumpulkan ratusan penampilan bersama tim asal Ibu Kota Belanda dan mendulang berbagai trofi, ia memutuskan untuk menerima pinangan salah satu raksasa Italia, AC Milan dengan status bebas transfer. Namun karirnya di San Siro justru meredup. Ia hanya bertahan satu musim sebelum akhirnya hengkang ke Juventus dengan mahar 8 Juta Euro. Bersama Juve, ia mulai dikenal orang karena menggunakan kacamatanya yang terbilang cukup stylish.
Kacamata Davids bukanlah untuk bergaya di atas lapangan, ia menderita glaukoma yang bakal merusak optik matanya. Meski menderita glaucoma, Davids malah menemukan performa puncaknya kala berseragam Putih Hitam. Bersama tim asal Kota Turin, ia sukses mempersembahkan trofi domestik dalam wujud tiga kali Scudetto. Davids sempat bermain dalam All Italian Final di Liga Champions 2003 kontra AC Milan. Di partai pamungkas, Bianconerri harus bertekuk lutut melalui drama adu penalti.
Setelah Juventus, petualangan Davids, di negara lain dimulai. Ia sempat memperkuat Barcelona dengan status pinjaman di musim 2004. Ia menjadi bagian tak terpisahkan dalam tubuh Blaugrana. Di akhir musim, ia memutuskan untuk pulang ke Italia dan tak membela Juventus, melainkan Inter Milan. Bersama Nerrazurri, ia dikontrak tiga musim dan sukses mempersembahkan gelar Coppa Italia. Tak sampai kontraknya rampung, Davids memutuskan memulai langkah baru di Inggris dengan bergabung dengan Tottenham Hotspurs di medio 2005an.
Bersama tim asal London Utara Davids bermain selama dua musim. Ia tak mendapatkan gelar apapun di Lilywhites. Davids hanya mampu memberikan posisi kelima untuk tim milik David Levy itu. setelahnya, ia pulang ke Ajax dan mempersembahkan KNVB Bekker kedua bagi Anak Tuhan Amsterdam. Hingga musim 2008, Davids tak mendapatkan kontrak dan break untuk sementara waktu sebagai pesepakbola.
Baca Juga Artikel Lainnya:
Obrolan Vigo: Prediksi Tim yang Bakal Lolos ke Babak 8 Besar Liga Champions
Obrolan Vigo: Utak-Atik Peluang Juara Copa del Rey 19/20
Obrolan Vigo: Tentang Ravel Morrison, Wonderkid Gagal Inggris
Obrolan Vigo: Gradasi Hitam Putih “Si Tangan Tuhan” Diego Maradona
Dua musim berselang, secara mengeutkan nama Davids kembali ke Tanah Inggris dan merapat ke tim London lain, Crystal Palace. Bersama Palace, ia mendapatkan kontrak pay-as-you-play. Artinya, pemain berdarah Suriname hanya akan dibayar andai ia merumput di atas lapangan. Setelahnya, kontrak tersebut pun sempat diberikan kala Stoke City merekrut Michael Owen di musim terkahirnya sebelum pensiun.
Davids yang semakin menua sudah tentu tak bisa berbuat banyak. Namun kala bermain di Palace, ia menyebut hal itu merupakan momen terbaik dalam karirnya karena ia masih dipercaya tampil di kompetisi tertinggi meski usianya tak lagi muda.
Setelah membela Palace, Davids kembali break dari dunia Sepakbola. Ia memutuskan untuk tinggal di London Timur dan melatih tim amatir Brixton Unied. Ia mendapatkan pinangan dari tim divisi empat Inggris, Barnet dan mendapatkan peran sebagai player manager. Namanya sempat mencuri perhatian kala mengugnakan seragam nomor satu dan bermain sebagai seorang gelandang tengah. Setelah Barnet, Davids benar-benar memutuskan pensiun sebagai pemain di tahun 2014.
Gefeliciteerd met je verjaardag, Edgar!
Selalu update berita bola terbaru seputar sepak bola dunia hanya di Vivagoal.com