Obrolan Vigo: Dewasalah, Supporter Sepakbola Indonesia

Obrolan Vigo: Dewasalah, Supporter Sepakbola Indonesia

Heri Susanto - October 4, 2022
Dibaca Normal dengan Waktu Menit

Vivagoal Berita Bola Terlalu jauh untuk mengharapkan sepakbola Indonesia bisa berprestasi jika para supporternya masih belum bisa menerima kekalahan. Jika hal mendasar tersebut saja masih belum terpenuhi, harapan sepakbola nasional untuk berkembang dan melaju ke level selanjutnya hanya ada dalam angan-angan.

Fans sepakbola di Indonesia memang memilii fanatisme yang luar biasa untuk cakupan negara Asean. Jika dibandingkan dengan Laos, Thailand atau bahkan Malaysia sekalipun, intensitas fans yang menonton langsung ke stadion, jam berapapun tim jagoannya bertanding bukanlah soal. Kursi-kursi kosong di Stadion hanya tinggal tunggu waktu untuk terisi penuh.

Tingginya fanatisme pada akhirnya membuat sepakbola di Indonesia menjadi objek yang seksi. Bahkan tak jarang, para pebisnis hingga politisi mengincar tim bal-balan guna mendulang popularitas lebih lanjut. Pada pemilihan Gubernur Jakarta 2012 misalnya, tokoh politik macam Alex Noerdin yang mengikuti kontestasi Calon Gubernur DKI kedapatan menggunakan atribut Persija Jakarta. Hal tersebut sekaan mengindikasikan dirinya hendak mendulang suara dari kalangan fans.

Tak hanya sampai di situ, mantan Gubernur DKI, Anies Baswedan beberapa kali kedapatan menyaksikan laga Persija lengkap dengan jersie logo Monas di dada. Anies menjadi sosok yang lumayan mendapatkan tempat di hati The Jak Mania lantaran kerap meluangkan waktu menyaksikan Macan Kemayoran.


Baca Juga:


Di luar aspek yang membuat suara fans penting guna kontestasi politik, masalah dasar soal supporter Indonesia yang kerap tak menerima kenyataan saat timnya kalah bukanlah barang baru. Baku hantam antar supporter, kebencian yang mandarah daging hingga fanatisme sesat lain kerap muncul di setiap musim kompetisi. Tak jarang korban yang meregang nyawa lantaran sepakbola kerap kali terjadi.

Sudah bukan rahasia umum jika tensi tinggi akan selalu terbawa di luar sepakbola. Ada aura yang tak menyenangkan ketika Orang Jakarta berada di Bandung dan mengucapkan “elu-gue” di sebagian besar tempat atau tendensi kebencian langsung muncul saat tahu ada Orang Surabaya di Malang atau sebaliknnya. Rivalitas yang harusnya sudah selesai dalam 90 menit nyatanya masih harus terbawa hingga ke kehidupan sosial.

Selain tensi yang tinggi, masalah kedewasaan fans sepakbola menjadi hal yang lumayan langka. Protes keras, yang berujung dihampirinya pelatih ke lapangan guna diminta pertanggung jawaban bukan hal yang jarang ditemui di kancah sepakbola Nasional.

Hal serupa mungkin tak akan ditemui di sepakbola Eropa. Sanksi keras bakal ditetapkan kepada fans yang mencoba masuk ke Stadion. Mulai dari dilarang menyaksikan lagi tim kesayangan oleh pihak klub maupun denda secara perorangan dengan jumlah yang besar. Alhasil, berbagai hasil minor yang dituai tim kerap dibicarakan dalam sebuah forum untuk kemudian disampaikan melalui demonstrasi alih-alih mengkritik langsung ke lapangan. berbagai aksi elegan kerap terjadi.


Baca Juga:


Masih lekat di ingatan bagaimana fans Manchester United yang menginvasi tempat latihan klub beberapa waktu lalu lantaran berbagai hasil minor yang direngkuh Setan Merah ataupun aksi walk out fans Liverpool di menit ke-70 saat harga tiket tim kesayangannya tiba-tiba naik. Melakukan berbagai aksi yang hanya merugikan klub yang didukung, bukan pihak lain menjadi hal yang sedikit banyak bisa dicontoh.

Mentalitas untuk menjadi pemenang memang sudah tertanam sejak lama. Sejak kecil, mayoritas orang tua di Indonesia selalu menunjt untuk berprestasi di tingkat sekolah dan andai tak mendulang hasil sesuai selera, hukuman atau bahkan dikucilkan menjadi hal yang jamak terjadi. Kompilasi hal tersebut pada akhirnya menjadi sebuah mindset yang tertanam, hasil baik harus selalu menjadi acuan.

Kemenangan pada akhirnya menjadi barang yang harus dimiliki siapapun. Individu, tim dan hal-hal lain perlu mendapat kredit macam itu  Jika memang harus demikian, lantas siapa yang harus kalah? Andai tak mampu menerima kekalahan, apakah anarkisme dan hal-hal di luar nalar tetap diperkenankan?  Pada akhirnya, menjadi supporter dewasa, dengan menerima kekalahan dan garis-garis takdir adalah hal yang perlu dirayakan. Bukan demikian?

Selalu update berita bola terbaru seputar sepak bola dunia hanya di Vivagoal.com